Dalam beberapa tahun terakhir, kondisi suaka global telah dipengaruhi oleh berbagai perjanjian dan kesepakatan yang bertujuan untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh migrasi paksa. Perjanjian Suaka Rwanda-Inggris menjadi topik perdebatan dan pengawasan yang signifikan.
Hak-hak pencari suaka, situasi hak asasi manusia di Rwanda, dan implikasi yang lebih luas dari perjanjian Rwanda-Inggris telah menjadi titik fokus diskusi di kalangan internasional. Perjanjian tersebut, yang ditandatangani bulan lalu, disebut-sebut oleh para pendukungnya sebagai upaya perintis untuk membangun kerangka kerja sama dalam mengelola pencari suaka.
Di bawah ini perjanjian, Inggris telah berkomitmen untuk mengirim pencari suaka ke Rwanda untuk diproses sebelum keputusan akhir mengenai status mereka dibuat. Alasan di balik langkah ini adalah untuk meringankan beban sistem suaka Inggris dan mempercepat pemrosesan klaim.
Para pengkritik berpendapat bahwa outsourcing pemrosesan suaka ke negara ketiga menimbulkan kekhawatiran serius mengenai perlindungan hak-hak pencari suaka. Langkah ini ditanggapi dengan skeptis oleh para pembela hak asasi manusia yang khawatir bahwa hal ini akan membahayakan proses hukum dan perlindungan hukum yang diberikan kepada mereka yang mencari perlindungan.
Kurangnya transparansi dalam rincian perjanjian semakin memperburuk kekhawatiran ini, sehingga banyak pertanyaan mengenai perlakuan terhadap kelompok rentan ini tidak terjawab.
Inti dari perdebatan seputar Perjanjian Suaka Rwanda-Inggris adalah situasi hak asasi manusia di Rwanda. Pemerintah Rwanda pernah menghadapi pengawasan ketat di masa lalu atas dugaan penyalahgunaan otonomi, pembatasan kebebasan berekspresi, dan penindasan politik.
Para pengkritik berpendapat bahwa mempercayakan pemrosesan suaka ke negara yang rekam jejaknya dipertanyakan akan menimbulkan dilema etika dan hukum, karena hal ini dapat membuat calon migran terkena dampak buruk.