Sebuah laporan baru telah memperingatkan bahwa pemerintah dapat segera kewalahan dengan konsekuensi dari krisis lingkungan sehingga mereka tidak dapat mengatasi akar penyebabnya.
Pekan lalu, dua thinktank yang berbasis di Inggris merilis sebuah laporan yang memperingatkan bahwa dunia berisiko jatuh ke dalam apa yang disebutnya 'lingkaran malapetaka' iklim jika tidak segera menyelaraskan kembali prioritasnya.
Periset dari Lembaga Penelitian Kebijakan Publik (IPPR) dan Chatham House mengatakan bahwa dengan memusatkan perhatian pada langkah-langkah penanggulangan jangka pendek, pemerintah akan menjadi begitu kewalahan dengan konsekuensi dari krisis lingkungan sehingga mereka berada dalam bahaya untuk memperburuknya.
Dengan kata lain, dengan perubahan iklim yang telah membebankan biaya yang sangat besar pada negara-negara saat mereka menghadapi bencana alam yang semakin merusak, para pemimpin mulai mundur atau bahkan mengabaikan upaya mereka untuk mengurangi emisi gas rumah kaca negara mereka.
Dengan gagal mengatasi akar penyebab masalah ini dan malah berfokus pada kekurangan pangan dan energi saat ini, migrasi, dan banjir, mereka telah menciptakan siklus yang memperkuat diri sendiri yang dapat menimbulkan beban ekonomi yang lebih besar di masa depan.
'Ini adalah lingkaran malapetaka,' tulis para peneliti dalam buku mereka melaporkan, yang menyatakan bahwa mereka yang memperdebatkan 1.5°C masih mungkin, mengabadikan rasa puas diri bahwa kecepatan tindakan yang lambat saat ini sudah cukup dan mereka yang berargumen sebaliknya mendukung fatalisme sehingga hanya sedikit yang dapat dilakukan sekarang.
'Konsekuensi dari krisis dan kegagalan untuk mengatasinya menarik fokus dan sumber daya dari mengatasi penyebabnya, yang mengarah ke suhu yang lebih tinggi dan hilangnya ekologi, yang kemudian menciptakan konsekuensi yang lebih parah, mengalihkan lebih banyak perhatian dan sumber daya, dan seterusnya,' lanjutnya. .
'Kita bisa sampai pada titik di mana masyarakat dihadapkan pada bencana dan krisis tanpa henti, dan semua masalah lain yang dibawa oleh krisis iklim dan ekologi dan akan semakin mengalihkan perhatian mereka dari melakukan dekarbonisasi.'
Dalam laporan tersebut, para peneliti menunjuk ke Afrika sebagai contoh bagaimana dinamika ini terjadi secara real time.
Ini mencatat bahwa dampak pemanasan global merugikan seluruh benua 15 persen dari yang pertumbuhan PDB tahunan per kapita, mempersulit negara-negara untuk berinvestasi dalam teknologi bersih yang awalnya mungkin lebih mahal untuk dipasang.
Karena mereka membutuhkan uang, beberapa pemimpin Afrika bahkan mempertimbangkan kesepakatan yang berpotensi menguntungkan dengan perusahaan minyak dan gas internasional untuk memungkinkan produksi bahan bakar fosil baru, yang secara tidak mengejutkan menarik minat banyak orang. kritik pedas dari aktivis lingkungan.